POLITIK MORAL INTELEKTUAL
SATU
Situasi politik ditanah air arahnya
makin tak menentu! kata seorang teman. Namun bukan satu alasan untuk pesimis.
Mungkin masih ada harapan. Jika kita tidak cuma memikirkan tindakan atau
prilaku orang perorang saja - etika individual. Melainkan, kita hendaknya
memikirkan masalah norma yang dapat dijadikan pedoman bersama - baik
dalam kehidupan politik yang menyangkut kenegaraan maupun kemasyarakatan.
DOWNLOAD VERSI MICROSOFT WORD KLIK DI SINI
Disamping itu, negara sebaiknya tidak dipandang sebagai satu lembaga yang sanggup mengantarkan setiap individu atau kelompok kedepan pintu gerbang kemakmuran. Kita hendaknya puas, tatkala negara sanggup menghindari bencana atau malapetaka. Mengurangi kerugian - yang bisa muncul setiap saat. Lalu, mengenai masalah cara meraih keberuntungan pribadi, bagaimana? Ya, itu menjadi urusan tiap individu - sesuai dengan kapasitas serta lingkungan masing-masing. Kenapa demikian? Karena setiap eksprimen yang bermaksud membangun sorga didunia pasti gagal. Dan kenyataannya selalu memproduksi hal yang sebaliknya; neraka. Begitu pula, adalah mimpi kalau kita mengartikan demokrasi sebagai >> kekuasaan berada ditangan rakyat <<. Walaupun begitu, demokrasi memungkinkan satu pemerintahan - melalui pemilihan umum - dapat diganti oleh pemerintahan yang lain, tanpa kekerasan. Akan tetapi kalau ternyata pemilu - disuatu negara - justru diwarnai kekerasan, kerusuhan, korban ratusan jiwa manusia? Apakah tujuan selalu menghalalkan (segala) cara? Dengan kata lain, apakah ini lalu berarti, tujuan lebih penting dari pada cara? Kalau begitu, apa arti kebahagiaan bagi orang banyak? Apakah sekedar napsu ingin menang; mengalahkan yang lain - kenikmatan? Korban berjatuhan, kok malah pesta - merayakan kemenangan. Kemenangan macam apa? Sungguh ironis memang. Bagaimana kiranya dengan masalah moral para pemenang ? Anggapan bahwa politik tak ada hubungan dengan moral ternyata keliru dan harus segera dikoreksi. Politik yang culas hanya dapat dilawan dengan politik (moral) kebajikan. Ide mempertemukan politik dan moral memang merupakan satu keharusan, walaupun berbahaya.
DOWNLOAD VERSI MICROSOFT WORD KLIK DI SINI
Disamping itu, negara sebaiknya tidak dipandang sebagai satu lembaga yang sanggup mengantarkan setiap individu atau kelompok kedepan pintu gerbang kemakmuran. Kita hendaknya puas, tatkala negara sanggup menghindari bencana atau malapetaka. Mengurangi kerugian - yang bisa muncul setiap saat. Lalu, mengenai masalah cara meraih keberuntungan pribadi, bagaimana? Ya, itu menjadi urusan tiap individu - sesuai dengan kapasitas serta lingkungan masing-masing. Kenapa demikian? Karena setiap eksprimen yang bermaksud membangun sorga didunia pasti gagal. Dan kenyataannya selalu memproduksi hal yang sebaliknya; neraka. Begitu pula, adalah mimpi kalau kita mengartikan demokrasi sebagai >> kekuasaan berada ditangan rakyat <<. Walaupun begitu, demokrasi memungkinkan satu pemerintahan - melalui pemilihan umum - dapat diganti oleh pemerintahan yang lain, tanpa kekerasan. Akan tetapi kalau ternyata pemilu - disuatu negara - justru diwarnai kekerasan, kerusuhan, korban ratusan jiwa manusia? Apakah tujuan selalu menghalalkan (segala) cara? Dengan kata lain, apakah ini lalu berarti, tujuan lebih penting dari pada cara? Kalau begitu, apa arti kebahagiaan bagi orang banyak? Apakah sekedar napsu ingin menang; mengalahkan yang lain - kenikmatan? Korban berjatuhan, kok malah pesta - merayakan kemenangan. Kemenangan macam apa? Sungguh ironis memang. Bagaimana kiranya dengan masalah moral para pemenang ? Anggapan bahwa politik tak ada hubungan dengan moral ternyata keliru dan harus segera dikoreksi. Politik yang culas hanya dapat dilawan dengan politik (moral) kebajikan. Ide mempertemukan politik dan moral memang merupakan satu keharusan, walaupun berbahaya.
DUA
Politik adalah doktrin. Ilmu.
Tehknik. Bahkan sekedar cara. Cara untuk menerapkan nilai-nilai moral
kebajikan. Tujuan politik yaitu untuk menemukan suatu bentuk kehidupan bersama
yang lebih baik. Peraturan yang adil. Undang undang yang lebih sempurna dan
seterusnya. Sedangkan etika, mencakup ajaran moral - yang bisa mempengaruhi
pikiran, prilaku serta tindakan manusia sehari hari - tatkala ia bergelut
menaklukkan alam. Wacana moral dan politik bukan fenomena baru. Walaupun etika
dan politik (juga ekonomi) sesungguhnya merupakan satu bangunan yang tak
mungkin dapat dipisahkan, namun dalam realpolitik, malah sering dipertanyakan.
Misalnya, Niccoló Machiavelli mempersoalkan masalah keabsahan moral
dalam politik. Politik - kata dia tentunya - tak lebih dari pada urusan
tekhnis, demi meraih serta mempertahankan kekuasaan belaka. Sedangkan moral,
itu lain soal. Urusan belakangan. Kendati demikian kaitan antara etika dan
politik tak dapat diabaikan begitu saja. Masalah etika politik ini - sebenarnya
- lebih ditentukan oleh pola kehidupan para aktor politik itu sendiri, yang
hidup disuatu tempat (negara), dalam kurun waktu tertentu, yang juga mengabdi
demi kepentingan (rezim) tertentu tertentu pula (Hegel). Diktum inilah
yang kemudian diklaim pemerintah - atau cendekiawan pro pemerintah - sebagai
legitimasi kebijakan resmi negara-nasional - baik itu menyangkut HAM,
demokrasi, ekologi, kemiskinan, maupun masalah konflik etnis-religus atau SARA.
Dengan kata lain, kepentingan negara nasional harus diutamakan. Berbeda dengan
itu, interpretasi marxisme-leninisme, tidak berkaitan (langsung) dengan
negara-nasional. Melainkan, etika politik dipakai untuk mengabsahkan perjuangan
kelas buruh/tani, untuk mencapai masyarakat makmur, sama rata sama rasa, tanpa
kelas. Dengan kata lain, ini berarti bahwa moral politik (ideologi!)
marxis-leninis dilihat hanya dari kepentingan satu kelas saja - yakni kelas
proletar. Sehingga ditingkat praksis, realisasinya tidak pernah dapat
melenyapkan kontradiksi yang ada di masyarakat. Bahkan sebaliknya. Penyebab
utama diduga, terletak pada etika marxis-leninis yang diidentikkan dengan etika
partai. Partai, adalah segala galanya. Posisi ketua partai sangat kokoh.
Selanjutnya, etika marxis-leninis ini - diklaim - berlaku universal. Paling
tidak hingga - sosialisme totaliter tumbang - akhir tahun delapan puluhan.
Sampai saat ini kita kenal dua bentuk negara totaliter (komunis atau fasis). Hitler
telah mengubur ide-ide luhur mengenai nilai-nilai kebersamaan, famili,
komunitas dan multikulturalisme - dengan ideologi fasisme; satu bangsa, satu
negara, satu Führer (pemimpin). Dipihak lain, Stalin telah
meracuni kolektivisme yakni prinsip-prinsip persaudaraan dan keadilan dengan
komunisme. Kendatipun kedua faham ini, baik fasisme maupun koumunisme sama sama
totaliter namun tidak fair rasanya kalau kita tidak sanggup menerangkan
perbedaan mendasar kedua faham yang bertentangan tersebut.
TIGA
Setelah konflik ideologi berakhir,
kemudian muncul era baru dengan problem baru. Debat kontroversi sosialisme vs.
kapitalisme telah lenyap. Suasana berubah. Sehingga wacana mengenai moral dan
politik pun juga ikut berubah. Dengan kata lain, perhatian orang kini bukan
lagi terpusat pada ideologi, melainkan pada prioritas serta kausalitas.
Kendati demikian ini bukan pertanda bahwa humanisme universal sudah mati. Tentu
saja tidak demikian. Walaupun tetap abstrak, namun ia hidup disepanjang zaman.
Humanisme universal dapat dilihat sebagai antitesis komunisme internasional.
Artikel ini bukanlah konsep paten.
Melainkan (hanya) sebuah topik belaka. Dengan kata lain yakni sumbangan pikiran
- dialektis-argumentatif - yang selalu dapat dikembangkan, yang pada garis
besarnya mencakup ide kemahardikaan berpikir. Terutama - kemerdekaan berpikir -
dalam suasana kebebasan yang semakin terbatas dan tak menentu. Menjelang abad
kedua puluh satu ini. Himbauan (moral) ini hendak mengajak setiap orang agar
prihatin serta untuk menumbuh-kembangkan rasa pengertian, demi tercapainya
suatu bentuk kehidupan bersama yang relatif lebih baik. Tatkala kita memikirkan
kembali wacana etika dan politik, paling tidak ada empat tema - yakni ekses
kekerasan militer, kelaparan massal, tantangan ekologis, HAM - yang hendak kita
prioritaskan, yang dapat kita gunakan sebagai dasar-dasar legitimasi pemikiran
(humanisme-universal) kita.
Apakah ekses kekerasan militer
(diberbagai belahan planet kita ini) merupakan akibat atau sebab dari munculnya
fanatisme religius, neo-nasionalisme, kerusuhan etnis etc. Kiranya tidak
terlalu penting untuk dibahas disini. Yang lebih penting adalah, pertama
(bagaimana cara) menghindari serta menolak penggunaan kekerasan militeris.
Menghentikan konflik - dibawah pengawasan badan-badan internasional - dengan
jalan damai. Yang kedua yaitu mengatasi masalah kelaparan, sebagai
akibat dari berbagai macam bentuk ketidak adilan, diperlukan solidaritas
internasional. Kemudian hak-hak individu dan sosial yang mendasar juga perlu
mendapat perhatian. Disamping itu solidaritas untuk kelompok marginal, baik
didalam maupun diluar negeri perlu dikembangkan - demi kelangsungan dan
perbaikan hidup generasi berikutnya. Lalu yang ketiga; munculnya
tantangan ekologis sebagai akibat dari industrialisasi serta pesatnya
pertambahan penduduk - terutama dinegara-negara miskin - saat ini juga
merupakan prioritas. Disamping itu, bukan hanya harkat, toleransi agama, budaya
atau cara hidup masing masing manusia yang harus diperhatikan, akan tetapi juga
harkat natur (flora dan fauna) serta menjaga kelestariannya, merupakan sendi
sendi kehidupan yang alami. Singkat: sehingga dengan demikian, dasar-dasar
legitimasi (baik/buruk, absah atau tidak) politik suatu negara, dapat diukur
dari kondisi HAM negara bersangkutan. Kenapa demikian? Sebab tantangan
etis-politis yang ngetrend didunia saat ini adalah masalah HAM. Yang
akhirnya mengakibatkan HAM diangkat menjadi standar atau ukuran negara hukum (Rechtstaat)
yang demokratis. Disamping masalah lingkungan hidup tentunya.
Universalitas HAM harus tetap dapat
dijaga dan dihargai. Oleh karena itu tak satu negara atau kelompokpun berhak
mengklaim HAM hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Memang benar, tatkala
kita mulai membicarakan dasar-dasar etika politik - diberbagai negara - maka
kita juga akan terbentur dengan berbagai macam masalah, yaitu perbedaan
persepsi, perbedaan prioritas, singkat perbedaan latar belakang sejarah dan
budaya. Namun yang penting sekarang ini yalah menemukan jawaban justru pada
benturan atau titik silang berbagai budaya yang ada. Dan cara berpikir ini
(harus) dapat dikembangkan serta diperkuat terus menerus. Dalam hal ini -
dilihat dari latar belakang sejarahnya - agama-agama dunia telah berusaha
memberikan kontribusi, yang dalam agama (kristen) sering disebut sebagai overlapping
consensus. Agama buddha juga begitu. Hindu sedang kearah situ. Islam masih
mikir-mikir. Disini pasti banyak orang yang cenderung cepat atau terburu buru
mengambil sebuah kesimpulan yang gampang. Bahwasanya kalau begitu agama kristen
lebih toleran, dibanding agama lain - islam misalnya. Ternyata tidak demikian.
Yang benar justru kebalikannya. Dalam sejarah, kristen barangkali tidak kalah
brutal dengan pengikut agama lainnya. Akan tetapi keadaan ini berubah, terutama
setelah pengaruh filosofi yunani mulai berkembang, kemudian muncul kritik
agama, lalu menyebarnya ide-ide Aufklärung, berkobarnya revolusi prancis,
lahirnya liberalisme, sosialisme dan seterusnya. Sehingga proses sakularisasi
(terutama di Eropa) bergulir terus menerus sesuai dengan semangat zaman, yang
juga selalu berubah ubah, hingga saat ini. Berbagai faktor inilah kiranya yang
memungkinkan cerdik cendekiawan (humanis), dapat berpikir bebas hingga jauh
melampaui tapal batas Kulturkreis (lingkar budaya), bahasa, agama atau
bahkan negara mereka. Singkat kata, untuk menggairahkan kehidupan berpolitik
yang berwawasan kebangsaan, seorang (kiri) liberal harus bisa mengerti perasaan
seorang fundamentalis . Seorang fundamentalis perlu membaca kembali dengan
seksama, sejarah munculnya ide liberalisme di Eropa (terutama mengenai
timbulnya nasion) dua abad yang lalu. Karena, mengingat saat ini begitu banyak
muncul cendekiawan yang bangun kesiangan - sadar atau tidak - mereka ngomong
agama maksudnya politik. Tapi belum ada yang ngomong politik maksudnya agama.
EMPAT
Setiap orang - begitu pula
cendekiawan - pasti dilahirkan disuatu negara tertentu, dibesarkan di
lingkungan budaya tertentu serta menggunakan bahasa ibu tertentu pula. Sehingga
dengan demikian, terjalinlah satu ikatan batin - bahkan keyakinan - yang
korporatif dengan negara kelahirannya. Jika keyakinan itu berjalan konform
dengan kekuasaan, maka ini berarti, keyakinan orang tersebut telah dapat disuap
atau dibeli. Yang membedakan seorang intelektual dan bukan intelektual yalah
konsepsi kebebasan berpikir mereka. Cara berpikir bebas (baca mandiri) biasanya
terbentuk lewat proses atau latihan yang diperolah lewat lembaga-lembaga
pendidikan formal (Universitas). Seorang sarjana belum tentu seorang intelektual.
Apalagi mengingat sejak tiga puluh tahun belakangan ini, kwalitas sarjana
dinegara kita makin merosot. Berbeda dengan intelektual dari negara negara
maju, intelektual dari negara berkembang dihadapkan pada persoalan-persoalan
lain, yakni bagaimana memberi masukan untuk pembangunan, berbakti kepada
negara, berjuang demi perbaikan kehidupan lapisan kelas bawah, begitu misalnya.
Sehingga dengan demikian proses demokratisasi dapat berjalan lancar. Disamping
itu demokrasi hendaknya dapat memberi kesempatan yang sama kepada setiap
lapisan masyarakat - termasuk juga kepada intelektual.
Oleh karena itu, sudah merupakan
satu kewajiban (moral) bahwa para cerdik cendekiawan menara gading, untuk turun
gunung, membela lapisan orang-orang tertindas atau orang orang terdesak, yang
dirugikan terus menerus. Dan bukan cuma itu. Lebih jelas lagi, seorang
intelektual tak layak menyembunyikan >>obyektivitas<< sekecil
apapun. Nilai nilai kebenaran orang-orang tertindas juga merupakan nilai
kebenaran (baca commonsense) kaum intelektual. Keterlibatan kaum
intelektual dengan kelas tertindas adalah tekad bersama untuk menuju perubahan,
yakni situasi kehidupan (politis dan ekonomis) yang lebih baik. Dengan kata
lain, seorang intelektual hendaknya juga seorang moralis. Seandainya ia seorang
sejarawan, bukannya peristiwa historis, melainkan keadilan moral-lah yang dia
utamakan. Begitu juga jika ia seorang politolog, misalnya. Omongannya
barangkali tidak mesti (selalu) sama dengan logika oposisi, yaitu partai yang
sudah pasti ingin meraih kekuasaan. Melainkan ia selalu mengutamakan
nilai-nilai kebenaran. Lebih jelas lagi, apakah suatu tindakan benar atau
tidak. >>Apakah membunuh orang termasuk tindakan yang baik atau buruk
<< Apakah membakar milik orang lain dapat dibenarkan? Perlu diketahui
bahwa moral (politik) hanya kenal dua tipe manusia, yaitu orang-orang yang
bilang ya dan orang-orang yang bilang tidak; dengan kata lain
yaitu tipe penurut atau pembangkang. Tak ada perkecualian untuk orang orang -
yang sering menyebut diri mereka - netral . Tak ada intelektual yang bisu.
Kalau begitu, dimana posisi seorang intelektual yang sesungguhnya? Edward
Said memberikan jawaban yang sangat pendek: Exile! Baik eksil dalam
arti kata yang sebenarnya, yaitu hidup dipengasingan, atau eksil dalam
pengertian metaporis yakni hidup didalam penjara. Sama saja. Seorang
intelektual, ibarat seorang anak kapal yang terdampar disebuah pulau. Dia hidup
bukan diatas, melainkan bersama penghuni pulau tersebut. Demikian
menurut Profesor Edward W. Said, kelahiran Jerusalem 1935, yang kini mengajar
di Columbia University, New York, USA. Said membantu kita untuk mengerti, siapa
kita dan apa yang harus kita lakukan, artinya kalau kita bertindak moralis dan
tidak mau melacurkan diri kepada kekuasaan.
LIMA
Mula mula hanya ada seorang saja
didunia ini yang bisa membaca dan menulis. Kemudian ada dua, tiga, empat, atau
lima orang. Dan akhirnya, seluruh penduduk suatu desa atau kota melek aksara.
Dan begitu pula dengan teori terbentuknya negara. Pertama tama hanya ada satu
negara, kemudian menyusul berdiri negara negara berikutnya. Akhirnya, kini
semua orang memiliki negara masing masing. Memang sudah menjadi kenyataan bahwa
kini tak ada seorangpun yang tidak dapat kita identifikasikan dengan negara -
tempat kelahirannya. Paling tidak untuk kepentingan administrasi. Singkat kata,
akhir abad keduapuluh ini, tak ada satupun masyarakat yang tidak memiliki
institusi, yang namanya negara. Begitu pula, tak ada politik tanpa akseptansi
interes yang berlawanan; Dan tidak ada moral sosial, yang tidak mengakui adanya
kemampuan daya pikir intelektual. Problemnya cuma satu, yakni tatkala
universalitas moral politik intelektual, dikaitkan dengan eksistensi dan
interes negara nasional. Maka seorang intelektual bisa dianggap sebagai pengganggu
stabilitas, separatis atau bahkan penjual bangsa. Yang sering menjadi
pertanyaan adalah: haruskah seorang intelektual itu identik dengan orang kiri
atau liberal? Jawabnya barangkali: ya! Karena keduanya mempertanyakan otoritas
atau legitimasi kekuasaan.
1 komentar:
makasih gan atas ilmu yang bermanfaat
Posting Komentar