1. DEFINISI
Menurut Plato, kekuasaan adalah kesanggupan untuk meyakinkan (persuasi)
orang lain agar orang yang telah diyakini itu melakukan apa yang telah
diyakininya sesuai dengan kehendak orang yang melakukan persuasi
tersebut.
DOWNLOAD VERSI MICROSOFT WORD : KLIK DI SINI
Menurut Max Weber dalam bukunya Wirtscraft und Gessellshaft (1922), kekuasaan sebagai kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemampuan itu.
Menurut Max Weber dalam bukunya Wirtscraft und Gessellshaft (1922), kekuasaan sebagai kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemampuan itu.
W. Connoly (1983) dan S. Lukes (1974) merumuskan kekuasaan adalah
kemampuan seorang pelaku untuk memengaruhi perilaku seorang pelaku lain,
sehingga perilakunya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang
mempunyai kekuasaan.
Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan terpengaruhi pikirannya oleh Max
Weber dengan mendefinisikan kekuasaan sebagai suatu hubungan di mana
seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau
kelompok lain ke arah tujuan dari pihak pertama.
Definisi serupa juga dirumuskan oleh seorang ahli kontemporer Barbara
Goodwin (2003), kekuasaan adalah kemampuan untuk mengakibatkan seseorang
bertindak dengan cara yang oleh yang bersangkutan tidak akan dipilih,
seandainya ia tidak dilibatkan. Dengan kata lain memaksa seseorang untuk
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya.
2. SUMBER KEKUASAAN
Dari zaman purba hingga sekarang ini, banyak orang yang berpendapat
bahwa sumber kekuasaan ialah para dewa atau Tuhan. Ada pula yang
mengatakan bahwa sesungguhnya, pangkat, kedudukan, jabatan, dan kekayaan
yang merupakan sumber kekuasaan yang sejati.
Plato menobatkan filsafat atau ilmu pengetahuan menjadi yang maha mulia
yang pantas mendudukkan seseorang di atas takhta pemerintahan negara
ideal. Hanya pengetahuanlah yang benar-benar sanggup membimbing dan
menuntun manusia menuju ke pengenalan yang benar akan seluruh eksistensi
di dunia ide. Oleh sebab itu hanya pengetahuan pulalah yang layak
menjadi sumber kekuasaan.
Aristoteles berpendapat bahwa hanya hukum yang pantas menjadi sumber
kekuasaan, karena hanya hukumlah yang sanggup menuntun pemerintah dan
yang diperintah untuk memperhatikan dan memperdulikan kepentingan,
kebaikan dan kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles, hukum sebagai sumber
kekuasaan haruslah memiliki kedaulatan dan kewibawaan tertinggi, tetapi
sekaligus juga menjadi dasar bagi kehidupan negara.
Berbeda dengan Machiavelli, ia berpendapat bahwa satu-satunya yang
paling pantas menjadi sumber kekuasaan ialah negara. Negaralah sumber
kekuasaan politik yang sesungguhnya.
J.R.P. French dan Bertram Raven dan beberapa pakar menguraikan sumber kekuasaan sebagai berikut:
a) Legitimates Power, yaitu kekuasaan yang diperoleh karena surat
keputusan atasan atau pengangkatan masyarakat banyak, yang selanjutnya
diterima sebagai pemimpin untuk berkuasa di daerah atau wilayah
tersebut.
b) Coercive Power,yaitu kekuasaan yang diperoleh karena seseorang
atau sekelompok orang mempergunakan kekerasan dan kekuatan fisik serta
senjatanya untuk memerintah pihak lain.
c) Expert Power, yaitu kekuasaan yang diperoleh dari seseorang
karena keahliannya berdasarkan ilmu-ilmu yang dimilikinya, seni
mempengaruhi yang dipunyainya serta budi luhurnya sehingga orang lain
membutuhkannya.
d) Reward Power, yaitu kekuasaan yang diperoleh karena seseorang
terlalu banyak memberi barang dan uang kepada orang lain sehingga orang
lain tersebut merasa berhutang budi atau suatu ketika membutuhkan
kembali pemberian yang serupa.
e) Reverent Power, yaitu kekuasaan yang diperoleh karena penampilan
seseorang, misalnya wajah yang rupawan dan wanita cantik dapat
menguasai beberapa pria, ataupun penampilan pangkat dan tanda jabatan
seorang pejabat akan menimbulkan kekaguman.
f) Information Power, yaitu kuasaan yang diperoleh karena
seseorang yang begitu banyak memiliki keterangan sehingga orang lain
membutuhkan dirinya untuk bertanya, untuk itu yang bersangkutan
membatasi keterangannya agar terus menerus dibutuhkan.
g) Connection Power, yaitu kekuasaan karena seseorang memiliki
hubungan keterkaitan dengan seseorang yang memang sedang berkuasa, hal
ini biasanya disebut dengan hubungan kekerabatan atau kekeluargaan
(nepotisme).
3. CARA BERKUASA
Apabila seorang pemangku jabatan (pemimpin) dalam pemerintahan tidak
memiliki kekuasaan terhadap bawahan ataupun masyarakatnya maka ada
beberapa cara untuk kembali berkuasa, hal ini dikemukakan oleh seorang
pakar bernama Strauss.
1) Be Competition, yaitu dengan cara mempertandingkan ataupun
memperlombakan bawahan dan masyarakat, sehingga secara tidak terasa
mereka mengikuti kemauan pemimpin pemerintah tersebut, seperti lomba
kebersihan, lomba keterampilan dan lain lain.
2) Be Strong Approach, yaitu dengan cara kemarahan yang keras dan
kaku dilengkapi dengan hantaman benda pada meja atau dinding, sehingga
terkesan menyeramkan. Untuk ini diperlukan dramatisasi keadaan.
3) Be Good Approach, yaitu dengan cara membujuk bawahan dan
masyarakat dengan lemah lembut, dilengkapi pemberian hadiah barang, uang
dan juga jasa tertentu sehingga bawahan dan masyarakat berhutang budi
dan malu hati.
4) Internalized Motivation, yaitu dengan cara menanamkan kesadaran
kepada bawahan dan masyarakat agar sepenuhnya mengerti sedalam-dalamnya
tentang arti kerjasama dan arti tujuan organisasi yang dimiliki bersama.
5) Implicit Bargaining, yaitu dengan cara membuat perjanjian
sebelumnya dengan bawahan dan masyarakat, sehingga dengan begitu bawahan
dan masyarakat terikat, walaupun perjanjian tersebut tidak tertulis
akan ada semacam keterkaitan untuk gentar melanggarnya.
4. PEMBAGIAN KEKUASAAN
Untuk melihat apakah kekuasaan menumpuk pada satu tangan (satu orang
atau sekelompok orang) atau terbagi dalam beberapa kelompok maka
dibuatlah beberapa lembaga tinggi negara, yang berikut ini akan
diuraikan dengan istilah tersendiri yaitu sebagai berikut:
1) Eka Praja adalah kekuasaan pada tangan satu orang atau
sekelompok orang yang mengepalai secara tirani (L’etat c’est moi) karena
tidak ada lembaga khusus yang dipilih dari wakil rakyat untuk
membuatnya. Jadi pemegang jalannya pemerintahan hanya pihak eksekutif
sendiri, contohnya pemerintahan Firaun, Facisme, Absolutisme (Ramses II
dan Louis XIII), dan Hitler.
2) Dwi Praja adalah kekuasaan di tangan dua kelompok yang saling
mengawasi yaitu Eksekutif dan Legislatif, hal ini dikemukakan oleh Frank
J. Goodnow dan Woodrow Wilson.
3) Tri Praja adalah kekuasaan di tangan tiga kelompok lembaga
tinggi negara yang dikemukakan oleh beberapa pakar dalam bentuk yang
berbeda-beda yaitu antara lain:
- Montesquieu = eksekutif, legislatif dan yudikatif.
- John Locke = eksekutif, legislatif dan federatif.
- Gabriel Almond = rule making function, rule application function, dan rule adjuctication function.
4) Catur Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh empat badan
lembaga tinggi negara yang dikemukakan antara lain Van Vollen Hoven (regelling, bestuur, politie, dan rechtsspraak)
munculnya kekuasaan kepolisian oleh pakar ini adalah karena menjaga
kemungkinan pihak ini berada di bawah kekuasaan eksekutif yang
mengakibatkan pemerintah main tangkap rakyatnya.
5) Panca Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh lima lembaga tinggi negara yaitu dikemukakan oleh Lemaire (wetgeving, bestuur, politie, rechtsspraak, dan bestuur zorg) munculnya dan lembaga pemerintahan eksekutif dalam arti sempit pada pendapat ini adalah agar menyeimbangkan (evenwichtigheid)
antara pemerintah yang menegakkan kekuasaan dengan pemerintah yang
melayani masyarakat, sehingga dengan demikian terwujud kesejahteraan
masyarakat.
5. PENYELENGGARAAN KEKUASAAN
Plato menganjurkan penyelenggaran kekuasaan negara agar dijalankan
secara paternalistik, yakni yang meniru cara seorang ayah yang arif
terhadap anaknya. Plato memberi peluang khusus bagi suatu
penyelenggaraan kekuasaan negara dengan cara paksaan atau kekerasan,
yang oleh Aristoteles disebut sebagai penyelenggaraan kekuasaan yang
despotik (penyelenggaraan kekuasan yang dilakukan oleh tuan terhadap
budaknya). Namun Plato mengatakan dan menegaskan bahwa cara tersebut
hanya boleh digunakan dalam keadaan darurat.
Sedangkan Aristoteles mengajarkan bahwa kekuasaan dalam negara dan
kekuasaan dalam keluarga haruslah sama karena negara pada hakikatnya
adalah suatu keluarga besar. Para penguasa harus menyelenggarakan
kekuasaannya sama seperti penyelenggaraan kekuasaan seorang ayah
terhadap seluruh isi keluarganya. Aristoteles berpendapat, di dalam satu
keluarga pun masih harus dibeda-bedakan cara penyelenggaraan kekuasaan
itu. Sesungguhnya setiap rumah tangga memiliki tiga jenis hubungan,
yaitu:
a) Pertuanan (mastership), yang dalam bahasa Yunaninya Aristoteles menggunakan istilah despotike (“of a master”), untuk hubungan antara tuan dan budak
b) Matrimonial (dalam bahasa Yunani: gamike), untuk hubungan antara suami isteri
c) Paternalistik (dalam bahasa Yunani: teknopoietike)
menganjurkan penyelenggaraan kekuasaan negara agar dijalankan secara
matrimonial, yakni seperti yang dilakukan dalam hubungan antara
suami-istri.
6. PEMEGANG KEKUASAAN
Dalam bentuk monarki dan tirani, kekuasaan berada di tangan satu orang,
dalam bentuk aristokrasi dan oligarki, kekuasaan berada di tangan
beberapa orang, sedangkan dalam bentuk politeia dan demokrasi, kekuasaan
berada di tangan orang banyak. Dengan demikian jelas terlihat bahwa
jumlah pemegang kekuasaan berbeda-beda di setiap negara dan dari jumlah
pemegang kekuasaan itulah ditentukan bentuk-bentuk pemerintahan negara.
Plato dalam Republic mengemukakan bahwa yang layak menjadi
pemegang kekuasaan ialah orang pilihan yang dianggap terbaik dan yang
paling unggul di antara semua orang pilihan, yakni orang yang memiliki
pengetahuan dan kebajikan yang sempurna.
Namun Aristoteles mempertanyakan ulang teori Plato tersebut, di dunia
ini apakah mungkinada seorang yang sempurna seperti yang Plato
kemukakan? Meskipun ada seorang yang seperti itu, bukankah ia dewa di
antara manusia? Aristoteles mendukung pendapat Plato yang mengatakan
bahwa negara yang dipimpin dan diperintah oleh orang pilihan yang
terbaik dan yang terunggul itu adalah negara ideal. Tetapi di Bumi ini,
mungkinkah ditemukan negara ideal dengan pemegang kekuasaan yang ideal
seperti itu? Oleh karena itu, Aristoteles, menyimpulkan bahwa yang
paling baik dan sangat realistis ialah bilamana pemegang kekuasaan itu
terdiri dari banyak orang yang berasal dari kelas menengah, yaitu mereka
yang telah bisa memanggul senjata dan yang takhluk pada hukum.
7. PIKIRAN PENULIS TENTANG KEKUASAAN
Praktik kekuasaan telah ada sejak jaman dahulu bahkan sebelum ilmu
politik lahir. Menurut pribadi saya sendiri, kekuasaan adalah kekuatan
yang dimana satu orang atau sekelompok orang mampu mengontrol pikiran
dan tindakan orang lain, sehingga orang lain tersebut mengikuti apa yang
disuruh oleh orang yang mengontrolnya ke suatu tujuan tertentu. Tujuan
tersebut bisa saja baik, bisa saja buruk. Tergantung niat dari si
pengontrol ini. Kekuasaan dengan tujuan yang baik dapat memberikan
keuntungan bagi si pengontrol dan yang dikontrol yang akhirnya akan
melahirkan rasa kepercayaan di antara mereka. Sebaliknya, jika kekuasaan
dengan tujuan yang buruk, maka hanya akan merugikan pihak lain yang
akhirnya akan menimbulkan rasa benci satu sama lain.
Kekuasaan di dalam negara diibaratkan sebagai kekuasaan seorang Ayah
yang mengayomi anggota keluarganya. Ayah sebagai seorang penguasa harus
bersikap adil dan melindungi hak-hak dasar anggota keluarga. Penguasa
diberi kepercayaan seutuhnya oleh rakyat, untuk mengatur dan menciptakan
kehidupan yang layak bagi mereka. Seorang penguasa akan senantiasa
membela dan melindungi rakyatnya dari ancaman yang datang dari luar.
Seorang penguasa adalah penyelamat, yang membangkitkan kembali rakyatnya
dikala mereka terpuruk dalam kesengsaraan.
Namun, kekuasaan jaman sekarang apakah masih akan melindungi dan membela
rakyatnya? Akankah kekuasaan akan dijalankan sebagaimana mestinya atau
malah disalahgunakan? Penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya harus
lebih banyak belajar tentang masa lalu. Tentang ilmu pengetahuan,
tentang filsafat kekuasaan, karena seperti Plato katakan bahwa “hanya
pengetahuanlah yang sanggup mengembalikan manusia ke dunia ide untuk
mengenal kembali dengan sebaik mungkin apa yang dahulu pernah
diketahuinya dengan sempurna”
8. DAFTAR PUSTAKA
Rapar, J.H. FILSAFAT POLITIK PLATO ARISTOTELES AUGUSTINUS MACHIAVELLI. Rajawali Pers. Jakarta: 2001.
Syafiie, Inu Kencana. FILSAFAT POLITIK. CV. Mandar Maju. Bandung: 2005.
Budiardjo, Miriam. DASAR-DASAR ILMU POLITIK. Jakarta. Gramedia: 2008.
1 komentar:
izin copas
Posting Komentar