Konsep Pemikiran Politik Yunani Kuno
Ketika
membahas tentang sebuah pemikiran, kita tidak bisa lepas dari konteks
sosio historis atau keadaan lingkungan yang terjadi ketika pemikiran
tersebut muncul, karena pada dasarnya sebuah pemikiran pasti dipengaruhi
oleh lingkungan disekitar pemikir. Dalam konteks pemikiran Yunani kuno,
tentunya kita akan mengacu pada latar belakang keadaan yang terjadi
ketika itu. Ada dua negara kota (city state) di Yunani yang menjadi perhatian dalam kajian tentang pemikiran Yunani kuno. Kedua negara kota itu adalah Athena dan Sparta.
Orang-orang
Yunani kuno memang menaruh perhatian pada permasalahan kehidupan,
termasuk masalah sosial dan politik. Setidaknya ada tiga faktor yang
mempengaruhi: Pertama, adanya kebebasan untuk berbicara.
Jadi yang ditekankan ketika itu adalah argumentasi, bukan senjata. Adu
argumentasi seperti ini pada akhirnya memancing nalar untuk berpikir
kritis dan akhirnya menghasilkan banyak sekali pemikiran. Kedua, negara-negara di Yunani kuno sering berganti-ganti sistem pemerintahan, dari mulai aristrokasi, tirani, hingga demokrasi. Pergantian yang sering ini juga memancing nalar mereka untuk berpikir. Ketiga, ketika itu adanya persamaan tentang pengertian masyarakat dan negara.
Karena wilayahnya yang kecil, jadi tidak ada pemisahan antara
masyarakat dengan negara. Masyarakat sama dengan negara, begitupun
sebaliknya. Masalah hidup dan masalah pergaulan bersama merupakan
masalah negara. Keempat, keadaan dan cara hidup orang Yunani kuno
ketika itu memang mengharuskan mereka untuk selalu memperhatikan dan
mendiskusikan masalah-masalah kehidupan.
Athena dan Kematian Socrates
Seperti telah disinggug sebelumnya, Athena merupakan salah satu negara
kota di Yunani kuno yang memegang peranan penting dalam pemikiran
politik barat. Sistem yang dikembangkan Athena merupakan cikal bakal
lahirnya demokrasi, dimana setiap orang bebas untuk mengemukakan
pendapatnya, dan setiap orang bebas berargumen, terutama dimasa
pemerintahan Priceles. Meskipun begitu di Athena masih terdapat
perbedaan kelas, yaitu: warga negara, pedagang, dan budak. Ketiga kelas
ini telah memiliki domain nya masing-masing, dan hanya kelompok
warga negara lah yang diberi kebebasan untuk berbicara, berargumen, dan
menghasilkan buah pemikiran.
Dimasa pemerintahan Priceles, Athena berkembang menjadi sebuah negara
yang sangat demokratis. Prinsip yang dijalankan ketika itu adalah
demokrasi langsung, dan setiap warga negara bebas berbicara, tanpa ada
perbedaan perlakuan. Semua warga negara dipandang sama dimata hukum dan
politik, juga tidak diperbolehkan adanya diskriminasi dalam proses
pengambilan kebijakan negara. Sistem seperti inilah yang kemudian
menjadi prototype demokrasi dimasa sekarang. Hubungan antar warga negara dimasa inipun sangat erat, layaknya sebuah keluarga.
Namun, Athena memiliki kekurangan, yaitu tidak memiliki kekuatan perang
yang memadai. Akibatnya, ketika perang Peloponnesia, negara Athena
berhasil dikalahkan oleh Sparta yang kekuatan militernya sangat kuat.
Kekuatan militer Sparta salah satunya dipengaruhi oleh faktor sistem
pemerintahannya yang aristokratis-otoriter dan adanya sistem wajib
militer bagi semua penduduknya, tidak terkecuali wanita dan anak-anak.
Setelah kekalahan tersebut, Athena memulai kehidupannya yang baru
dengan munculnya kaum Sofis, yaitu sekelompok intelektual yang
memikirkan masalah-masalah filosofis dalam kehidupan. Kaum sofis
diyakini sebagai gerakan perintis pendidikan dimasa Yunani kuno. Biarpun
begitu, lama kelamaan mulai timbul sikap pragmatisme dalam kelompok
Sofis. Mereka menarik uang dari ajaran yang diberikannya kepada
masyarakat. Bahkan lambat laun, yang dipentingkan justru sisi uangnya
daripada sisi kebenaran pengetahuan yang diberikan. Inilah yang menjadi
sasaran kritik bagi Socrates. Socrates ini sendiri merupakan seorang
filsuf yang kritis, dia sering disebut sebagai bapak etika,
karena selalu bertanya “apa itu benar ?”, “apa itu baik ?”, dsb.
Pencarian kebenaran Socrates dengan cara dialog Socrates, belakangan
disebut metode skeptisisme, yang intinya adalah bertanya dan bertanya.
Socrates
mengkritik kaum Sofis karena dianggap sangat pragmatis. Selain itu,
Socrates tidak setuju pendapat Sofis yang mengatakan bahwa salah dan
benar tergantung penilaian manusia, dan kepada kaum Sofis tidak bisa
dikenakan kriteria benar dan salah, segala perkataan Sofis pasti benar.
Socrates tidak sepaham dengan ini semua. Karena dianggap mengancam
eksistensi kaum Sofis, maka Socrates dianggap sesat oleh mereka dan
akhirnya Socrates pun dihukum mati.
Plato dan Pemikirannya
Plato merupakan murid setia dari Socrates. Kematian gurunya ditengah
iklim demokrasi yang sedang berkembang di Athena, menimbulkan kekecewaan
Plato terhadap sistem demokrasi. Menurutnya, demokrasi hanya akan
membawa hal-hal buruk, salah satunya adalah kematian gurunya. Oleh
karena itu, dalam pemikirannya, ia merupakan penentang demokrasi dan
anti terhadap individualisme. Karir intelektualnya dimulai ketika ia
membuat sekolah di Athena yang bernama Akademi, dan dari sekolah itulah ia membuat sebuah buku yang sangat terkenal, yaitu Politeia (Republik).
Tokoh ini sering dibilang idealis-utopis, karena pemikiran-pemikirannya
terlalu ideal, normatif, berimajinasi tinggi. Menurutnya, negara ideal
adalah negara yang: (1) mementingkan kebajikan. Baginya kebajikan adalah
pengetahuan, dan cara untuk memperoleh pengetahuan adalah melalui
pendidikan. Itulah alasannya mengapa Plato mendirikan Akademi. Menurutnya, seorang pemimpin haruslah memiliki kebajikan untuk bisa membentuk sebuah negara yang baik. Oleh karena itu, syarat
utama bagi seorang penguasa menurut Plato adalah ia harus memiliki
pengetahuan yang luas, dan itu hanya ada pada diri seorang filsuf. Konsep ini dikenal dengan istilah The Philosopher King. Dalam bukunya Politeia,
Plato mengibaratkan seorang penguasa seperti dokter yang harus mempu
mendeteksi penyakit masyarakat, mendiagnosanya, dan akhirnya mengobati
penyakit tersebut. (2) Memastikan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan
mengawasi proses penukaran timbale balik antar orang. Plato beranggapan,
adanya negara karena adanya hubungan timbal baalik dan rasa saling
membutuhkan antar sesama. Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa
bantuan orang lain. Karena itulah hubungan timbal balik menjadi penting
sebagai sarana pemenuhan kebutuhan, dan negara harus memastikan ini
berjalan dengan baik. (3) Larangan atas hak pemilikan pribadi dalam
bentuk harta dan keluarga. Plato pada akhirnya mengusung ide
kolektivisme atau kepemilikan bersama. Menurutnya, kepemilikan pribadi
hanya akan menyebabkan kesenjangan, kecemburuan, yang pada akhirnya
menyebabkan kompetisi tidak sehat. Karena itu, ia beranggapan bahwa
harta dan keluarga, termasuk istri dan anak-anak merupakan milik
bersama. (4) Tidak mementingkan individualisme. Baginya, individualisme
hanya akan membuat manusia memikirkan dirinya sendiri tanpa mau
memikirkan orang lain. Sikap ini pada akhirnya menumbuhkan egoism, dan
pada akhirnya akan tercipta kesenjangan.
Dalam Politeia,
Plato tidak berbicara tentang kebebasan berpendapat dan kebebasan
berargumen. Agaknya ini bertentangan dengan ide dia sendiri bahwa
pemimpin haruslah orang pintar, cerdas, dan berpengetahuan luas. Mengapa
demikian ? Karena kepintaran hanya bisa didapat ketika nalar bisa
bekerja dengan sangat baik, dan nalar hanya bisa dikembangkan melalui
argumen, kritik, pendapat, dan pemikiran. Satu hal lagi yang perlu
dicermati, menurutnya, jika pemimpin sudah tidak mampu mewujudkan negara
yang ideal, maka pemimpin bisa diganti, namun ia tidak berpikir tentang
bagaimana caranya.
Jika dicermati, pemikiran Plato merupakan antitesa dari keadaan Athena
sebelum keruntuhannya. Sistem demokrasi, individualisme, kebebasan
berpendapat yang diusung Athena ketika itu nyatanya hancur lebur ketika
Peloponnesia, dan sistem yang aristokratis dan ototriterlah yang lebih
unggul (Sparta). Kehancuran Athena itu, negara yang sangat dicintainya,
dan juga kematian gurunya ditengah iklim demokrasi, membuatnya berpikir
demikian. Banyak ilmuwan yang beranggapan bahwa pemikiran Platonik
inilah yang kemudian menjadi inspirator Marx dan Engel untuk
mengembangkan ide-ide komunisme.
Aristoteles dan Pemikirannya
Aristoteles merupakan murid dari Plato di Akademi. Walaupun begitu,
sifat pemikirannya berbeda dengan gurunya yang idealis-utopis, dan
berdasarkan logika deduktif. Aristoteles merupakan seorang filsuf yang
realis-empiris, dan mendasarkan pemikirannya berdaarkan fakta, bukan
hasil kontemplasi yang imajinatif, logika yang digunakannya pun adalah
induktif.
Aristoteles juga menulis sebuah buku yang sangat fenomenal yang berjudul Politics.
Dalam buku tersebut, Aristoteles menuliskan gagasannya tentang asal
mula negara yang menurutnya berawal dari individu. Individu-individu ini
tidak dapat hidup sendiri, mereka membutuhkan individu lainnya agar
tetap hidup, maka secara fitrah, individu tadi akan bergantung kepada
individu lainnya, dan membentuk sebuah kelompok yang berdasarkan
keturunan, atau yang disebut keluarga. Keluarga inipun pada hakikatnya
juga membutuhkan keluarga-keluarga yang lain untuk bisa tetap bertahan,
maka kumpulan dari keluarga-keluarga tersebut akan membentuk sebuah
masyarakat/negara. Perlu dipahami bahwa Aristoteles tidak membedakan
antara masyarakat dan negara, sama halnya dengan keadaan di Yunani Kuno
ketika itu. Ia menganggap bahwa, negara merupakan bentuk akhir dari
gabungan unsur-unsur tadi, sehingga negara merupakan bentuk yang paling
sempurna dan bia mewujudkan kesempurnaan hidup.
Menurutnya, manusia adalah zoon politicon,
atau makhluk politik yang berarti secara fitrah manusia membutuhkan
politik, membutuhkan negara untuk mencapai kebahagiaan dan
kesempurnannya. Disinilah menurut Aristoteles, negara merupakan hal yang
perlu ada dalam kehidupan. Negara menurutnya memiliki tujuan: (1)
mensejahterakan seluruh warganya, bukan individu tertentu, (2) agar
manusia mencapai kebahagiaan, dan (3) memanusiakan manusia, atau dengan
kata lain memperlakukan manusia layaknya manusia.
Berbeda dengan gurunya yang mengusung ide kolektifisme, Aristoteles
justru memperbolehkan adanya hak milik individu. Ada dua alasan mengapa
Aristoteles memperbolehkan dan bahkan menganggap penting kepemilikan
individu, yaitu: (1) hak kepemilikan individu akan membuat orang
memiliki lebih banyak waktu luang untuk berpikir dan mngurus masalah
negara. Menurutnya, milik adalah alat untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari, sehingga tersedia banyak waktu luang untuk berpikir tentang
urusan masyarakat. (2) Kepemilikan akan mendatangkan kebahagiaan,
karena kebahagiaan hanya bisa diperoleh jika seseorang memiliki harta
dan kekayaan. Jalan pikir seperti ini agaknya menunjukkan bahwa
Aristoteles merupakan pemikir yang materialis.
Mengenai konsep ukuran negara, Aristoteles beranggapan bahwa negara
yang baik tidak berukuran besar, namun juga tidak terlalu kecil.
Menurutnya, negara yang terlalu besar akan sulit untuk dijaga, dan
negara yang kecil akan mudah untuk dikuasai dan ditaklukan negara lain.
Aristoteles lebih sepakat dengan konsep city state, atau negara
kota dalam hal luas wilayahnya. Pemikirannya ini berbeda dengan
muridnya, yaitu Iskandar Zulkarnaen atau Iskandar Agung yang
menginginkan sebuah imperium besar dengan menyapu bersih semua negara
kota yang ada. Pada akhirnya nanti, perbedaan inilah yang membuat
dirinya harus pergi dari Athena dan akhirnya meninggal di Euoba (daerah
sebelah timur Yunani).
0 komentar:
Posting Komentar