A.
Pendahuluan
Tradisi
pemikiran Barat dewasa ini merupakan paradigma bagi pengembangan budaya Barat
dengan implikasi yang sangat luas dan mendalam di semua segi dari seluruh lini
kehidupan. Memahami tradisi pemikiran Barat sebagaimana tercermin dalam pandangan
filsafatnya merupakan kearifan tersendiri, karena kita akan dapat melacak
segi-segi positifnya yang layak kita tiru dan menemukan sisi-sisi negatifnya
untuk tidak kita ulangi.
DOWNLOAD VERSI MICROSOFT WORD DI SINI : http://adf.ly/1SnDWe
DOWNLOAD VERSI MICROSOFT WORD DI SINI : http://adf.ly/1SnDWe
Ditinjau dari sudut sejarah, filsafat Barat memiliki empat periodisasi. Periodisasi ini didasarkan atas corak pemikiran yang dominan pada waktu itu. Pertama, adalah zaman Yunani Kuno, ciri yang menonjol dari filsafat Yunani kuno adalah ditujukannya perhatian terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik sebagai ikhtiar guna menemukan asal mula (arche) yang merupakan unsur awal terjadinya gejala-gejala. Para filosof pada masa ini mempertanyakan asal usul alam semesta dan jagad raya, sehingga ciri pemikiran filsafat pada zaman ini disebut kosmosentris. Kedua, adalah zaman Abad Pertengahan, ciri pemikiran filsafat pada zaman ini di sebut teosentris. Para filosof pada masa ini memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat dogma-dogma agama Kristiani, akibatnya perkembangan alam pemikiran Eropa pada abad pertengahan sangat terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama, sehingga pemikiran filsafat terlalu seragam bahkan dipandang seakan-akan tidak penting bagi sejarah pemikiran filsafat sebenarnya. Ketiga, adalah zaman Abad Modern, para filosof zaman ini menjadikan manusia sebagai pusat analisis filsafat, maka corak filsafat zaman ini lazim disebut antroposentris. Filsafat Barat modern dengan demikian memiliki corak yang berbeda dengan filsafat Abad Pertengahan. Letak perbedaan itu terutama pada otoritas kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika pada Abad Pertengahan otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada zaman Modern otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal manusia itu sendiri.
Manusia pada
zaman modern tidak mau diikat oleh kekuasaan manapun, kecuali oleh kekuasaan
yang ada pada dirinya sendiri yaitu akal. Kekuasaan yang mengikat itu adalah
agama dengan gerejanya serta Raja dengan kekuasaan politiknya yang bersifat
absolut. Keempat, adalah Abad Kontemporer dengan ciri pokok pemikiran logosentris,
artinya teks menjadi tema sentral diskursus filsafat.
Di dalam
kehidupan praktis sehari-hari, manusia bergerak di dalam dunia yang telah
diselubungi dengan penafsiran-penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan
dan filsafat. Penafsiran-penafsiran itu seringkali diwarnai oleh
kepentingan-kepentingan, situasi-situasi kehidupan dan kebiasaan-kebiasaan,
sehingga ia telah melupakan dunia apa adanya, dunia kehidupan yang murni,
tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran.
Ajaran positivismee
timbul pada abad 19 dan termasuk jenis filsafat abad modern. Kelahirannya
hampir bersamaan dengan empirisme. Kesamaan diantara keduanya antara lain bahwa
keduanya mengutamakan pengalaman. Perbedaannya, positivismee hanya membatasi
diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif, sedangkan empirisme menerima
juga pengalaman-pengalaman batiniah atau pengalaman yang subjektif. Salah satu
Tokoh terpenting dari aliran positivismee adalah August Comte (1798-1857).
Auguste Comte lahir di Montpellier, Perancis pada 19 Januari 1798.
Dominasi
paradigma positivismee selama bertahun-tahun terhadap dunia keilmuwan, tidak
hanya dalam ilmu-ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu
humanities, telah mengakibatkan krisis ilmu pengetahuan. Persoalannya bukan
penerapan pola pikir positivistis terhadap ilmu-ilmu alam, karena hal itu
memang sesuai, melainkan positivismee dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat
dan manusia sebagai makhluk historis.
Empirisme
adalah merupakan paham yang mencoba memaparkan dan menjelaskan bahwa, sumber
pengetahuan manusia itu adalah pengalaman.
B. Empirisme
1.
Pengertian
Empirisme
Aliran
empirisme berasal dari kata yunani empeiria yang berarti “pengalaman inderawi”.
Empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan dan yang di
maksudkan degannya baik pengalaman lahiria yang menyangkut dunia maupun
pengalaman batinia yang menyangkut prribadi manusia saja.
Tidak
mengherankan bila rasionalisme dan empirisme masing-masing mempunyai pendirian
yang sangat berlainan tentang sifat pengenalan manusiawi. Rasionlisme
mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan
inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur saja. Sebaliknya,
empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman, sehingga
pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Seperti kita lihat pada rasionalisme di daratan Eropa, pada empirisme
Inggrispun masalah subtansi ramai di bicarakan.
Paham ini di
plopori oleh Francois Bacon. Bacon telah memberi pandangan baru yang cukup
berarti bagi dunia ilmu dan kehidupan manusia. Tugas yang sebenarnya dari ilmu
pengetahuan adalah mengusahakan penemuan-penemuan yang meningkatkan kemakmuran
dan hidup yang enak. Hingga kini penemuan-penemuan yang ada terjadi karena
kebetulan saja. Mulai sekarang penemuan-penemuan harus di lakukan karena tugas
dan secara metodis. Agar supaya tugas itu dapat di laksanakan, perlukan:
a)
Bahwa alam di wawancarai
b)
Bahwa orang bekerja menurut suatu
metode yang benar
c)
Bahwa orang bersikap pasif terhadap
bahan-bahan yang di sajikan alam
Artinya,
orang harus menghindarkan diri dari mengemukakan prasangka-prasangka terlebih
dahulu. Hal ini di pandang perlu guna mencegahtimbulnya gambaran-gambaran yang
keliru.
Menurut
aliran ini adalah tidak mungkin untuk mencari pengetahuan mutlak dan mencakup
semua segi, apalagi bila di dekat kita terdapat kekuatan yang dapat dikuasai
untuk meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat
namun lebih dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan
sebuah sistem pengetahuan yang mempunyai peluang besar untuk benar, meskipun
kepastian mutlak tidak akan pernah dapat dijamin.
Kaum
empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat
pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan seorang empiris bahwa
sesuatu itu ada, dia akan berkata “tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam
persoalan mengenai fakta maka dia harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri.
Jika kita mengatakan kepada dia bahwa seekor harimau di kamar mandinya, pertama
dia minta kita untuk menjelaskan bagaimana kita dapat sampai kepada kesimpulan
tersebut. Jika kemudian kita mengatakan bahwa kita melihat harimau tersebut di
dalam kamar mandi, baru kaum empiris akan mau mendengar laporan mengenai
pengalaman kita, namun dia hanya akan menerima hal tersebut jika dia atau orang
lain dapat memeriksa kebenaran yang kita ajukan, dengan jalan melihat harimau
itu dengan mata kepalanya sendiri.
David Hume
adalah tokoh filsafat barat yang mengembangkan filsafat empirisisme Locke dan
Berkley secara konsekuen. Menurut David Hume, Manusia tidak membawa pengetahuan
bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengatamatan. David Hume
menegaskan bahwa pengalaman lebih member keyakinan di banding kesimpulan logika
atau kemestian sebab akibat.
2.
Sejarah
Perkembangan Empirisme
Asal muasal
timbulnya aliran ini bermula dari penolakan mereka atas dominasi logika
Cartesian di daratan Eropa saat itu. Di samping itu, gelora Renaissance di
daratan Eropa menginspirasi Dataran Britania Raya sampai ada istilah sendiri
yaitu Enlightment. Beberapa tokoh
yang cukup dikenal antara lain John Locke, David Hume, dan George Berkeley,
Francis Bacon.
Bagi John
Locke, berpikir deduksi relatif lebih rendah kedudukannya apabila dibandingkan
dengan pengalaman indera dalam pengembangan pengetahuan. Lebih lanjut ia
berpendapat bahwa semua fenomena dari pikiran kita yang disebut ide berasal
dari pengamatan atau refleksi. Inilah tesis dasar dari empirisme. Dengan tesis
inilah, Locke mempergunakannya sebagai titik tolak dalam ia menjelaskan
perkembangan pikiran manusia.
Selain John
Locke, Bacon juga berkesimpulan bahwa penalaran hanya berupa putusan-putusan
yang terdiri dari kata-kata yang menyatakan pengertian tertentu. Sehingga
bilamana pengertian itu kurang jelas maka hanyalah dihasilkan suatu abstraksi
yang tidak mungkin bagi kita untuk membangun pengetahuan di atasnya. Bacon
beranggapan bahwa untuk mendapatkan kebenaran maka akal budi bertitik pangkal
pada pengamatan inderawi yang khusus lalu berkembang kepada kesimpulan umum.
Pemikiran Bacon yang demikian ini, kemudian melahirkan metode berpikir induksi.
Dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber
utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat
yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang
menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan
bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Dua hal dicermati oleh Hume,
yaitu substansi dan kausalitas.
Hume tidak
menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa
ciri yang selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah
hasil penginderaan langsung, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan
seperti itu. Misal kualami kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar
pengalaman itu tidak dapat disimpulkan, bahwa ada substansi tetap yang misalnya
disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada realitas
kertas, diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu mengapa muncul gagasan kertas,
dan bukan yang lainnya? Bagi Hume, "aku" tidak lain hanyalah "a bundle
or collection of perceptions (kesadaran tertentu)".
Kausalitas. Jika gejala tertentu diikuti oleh gejala
lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas, kesimpulan itu tidak
berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya
memberi kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan
sebab-akibat. Yang disebut kepastian
hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari "probable"
(berpeluang) sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat pada
hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita. Hukum alam adalah hukum alam. Jika kita bicara tentang "hukum
alam" atau "sebab-akibat", sebenarnya kita membicarakan apa yang
kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh
kebiasaan atau perasaan kita saja.
3.
Tokoh-tokoh
Empirisme dan Pemikirannya
a)
Thomas
Hobbes (1588-1679)
Thomas
Hobbes adalah anak seorang pedeta, minatnya dari semula terarahkan kepada
kesusastraan dan filsafat. Ia seorang filosuf Inggris,
memahami manusia secara mekanik semata. Cita-citanya untuk mengembangkan suatu
filsafat atau teori negara yang dapat membantu untuk menyusun masyarkat dalam
keadaan damai dan adil.
Thomas
Hobbes menggap bahwa pengalaman inderawi sebagai pemulaan segala pengenalan.
Pengenalan intelektual tidak lain dari semacam perhitungan (kalkus), yaitu
penggabungan data-data inderawi yang sama, dengan cara yang berlainan. Dunia
dan manusia sebagai objek pengenalan merupakan sistem materi dan merupakan
sebagai objek pengenalan merupakan sistem materi dan merupakan suatu proses
yang berlangsung dengan tiada henti-hentinya atas dasar hukum-hukum mekanisme.
Atas pandangan ini, ajaean Hobbes sistem materialistis pertama dalam sejarah
filasafat modern.
Materialisme
yang dianut Thomas Hobbes mensinyalir bahwa segala sesuatu yang ada bersifat
bendawi yakni segala kejadian adalah gerak yang berlangsung karena keharusan
dan realitas tidak bergantung pada gagasan kita, terhisap di dalam gerak itu.
Sebagai penganut empirisme, ia beranggapan bahwa pengalaman merupakan permulaan
segala pengenalan.
Pengalaman
adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang disimpan di dalam
ingatan dan dibagungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan sesuai dengan
apa yang telah diamati pada masa yang lampau. Pengamatan inderawi terjadi
karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam
indera kita. Gerak ini diteruskan kepada otak kemudian diteruskan ke jantung.
Di dalam jantung timbullah suatu reaksi, suatu gerak yang berlawanan.
Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi. Sasaran yang
diamati adalah sifat-sifat inderawi. Penginderaan disebabkan karena tekanan
obyek atau sasaran kualitas dalam obyek-obyek yang sesuai dengan penginderaan
kita bergerak menekan indera kita. Warna yang kita lihat, suara yang kita
dengar bukan benda di dalam obyek melainkan di dalam subyeknya. Sifat-sifat
inderawi tidak memberi gambaran tentang sebab yang menimbulkan penginderaan.
Ingatan, rasa senang dan tidak senang dan segala gejala jiwani bersandar
semata-mata pada aosiasi gambaran-gambaran yang murni bersifat mekanis.
b)
Jhon Locke
(1632-1704)
John Locke
adalah filosof Inggris, lahir tahun 1632 di Wrington, Somersetshire. Tahun
1647-1652 ia belajar di Westminster. Tahun 1652 ia memasuki Universitas Oxford
mempelajari agama Kristen, namun ia juga mempelajari pengetahuan di luar tugas
pokoknya. Lock menyelidiki kemampuan pengetahuan
manusia, sampai kemanakah ia dapat mencapai kebenaran dan bagaimanakah mencapainya
itu. Ia mempergunakan istilah sensation dan reflection dalam
upaya mencari kebenaran atas pengetahuan.
Reflection itu
pengenalan intuitif serta memberi pengetahuan apakah kepada manusia lebih baik
lebih penuh dari pada sensation. Sansation merupakan suatu yang
memiliki hubungan dengan dunia luar tetapi tak dapat meraihnya dan tak dapat
mengerti sesungguhnya. Tetapi tanpa sensations manusia tak dapat juga
suatu pengetahuan
Tiap-tiap
pengetahuan itu terjadi dari kerja sama antara sensation dan reflections.
Tetapi haruslah ia mulai dengan sensation sebab jiwa manusia itu waktu
dilahirkan merupakan yang putih bersih; tabula rasa, tak ada bekal dari siapa
pun yang merupakan ide innatae.
Seluruh
pengetahuan kita peroleh dengan jalan menggunakan dan membandingkan
gagasan-gagasan yang diperoleh dari pengindraan dan refleksi. Akal manusia
hanya merupakan tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil
penginderaan kita. Menurut Locke kita tidak melihat
pohon atau orang atau mendengar bunyi sangkakala melainkan kita melihat kesan
inderawi pada retina yang disebabkan oleh apa yang kita lihat sebagai pohon.
Kita mendengarkan reaksi selaput kuping terhadap getaran-getaran udara yang
disebabkan oleh peniupan sangkakala.
c)
George
Berkeley (1685-1753)
George
Berkeley
sebagai penganut empirisme mencanangkan teori yang dinamakan “immaterialisme”
atas dasar prinsip-prinsip empirisme. Ia bertolak belakang dengan pendapat John
Locke yang masih menerima substansi dari luar. Berkeley berpendapat sama sekali
tidak ada substansi-substansi material dan yang ada hanya pengalaman ruh saja
karena dalam dunia material sama dengan ide-ide.
Berkeley
mengilustrasikan dengan gambar film yang ada dalam layar putih sebagai benda
yang riil dan hidup. Pengakuannya bahwa “aku” merupakan suatu substansi rohani.
Tuhan adalah asal-usul ide itu ada yang menunjukkan ide-ide pada kita dan
Tuhanlah yang memutarkan film pada batin kita.
Sepintas
kita pahami bahwa konsep pemikirannya ada kemiripan dengan paham fatalism dari
Inggris, perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Tuhan.
Juga hampir sama dengan paham Jabariyah yang menyatakan bahwa manusia tidak
memiliki kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatan.
d)
David Hume
(1711-1776)
Hume adalah
seorang Skot, lahir didekat kota Edinburgh Inggris tahun 1711. Ia pernah
mengajar di Universitas, barangkali juga karena ia dianggap ateis sehingga
tidak akan diterima sebagian profesor. Ia banyak berkeliling di Eropa terutama
di Perancis. Buku yang ia tulis ketika berumur duapuluh
tahunan adalah Kretise Of Human Nature (1739), namun tidak banyak
menarik perhatian orang. Waktu mudanya ia juga berpolitik tetapi tak terlalu
mendapat sukses, kemudian ia beralih menjadi sejarawan.
Pada tahun 1948 ia menulis buku yang sangat terkenal, An Enquiry Concerring
the Princeiples of Morals (1751). Hume meninggal pada tahun 1776.
Ia
menganalisis pengertian substansi, seluruh pengetahuan itu tak lain dari jumlah
pengalaman kita. Dalam budi kita tak ada suatu idea yang tidak sesuai dengan impression
yang disebabkan “hal” di luar kita. Adapun yang bersentuhan dengan indera kita
itu sifat-sifat atau gejala-gejala dari hal tersebut. Yang menyebabkan kita
mempunyai pengertian sesuatu yang tetap substansi itu tidak lain dari perulangan pengalaman yang demikian acapkalinya.
Subtansi itu hanya anggapan, khayal, yang sebenarnya tak ada.
Manusia
tidak membawa pengtahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah
pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal yaitu kesan-kesan (impressions)
dan pengertian-pengertian atau idea-idea (ideas).
Yang
dimaksud dengan impressions atau kesan-kesan adalah pengamatan langsung
yang diterima dari pengalaman baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman
batiniah yang menampakkan diri dengan jelas, hidup dan kuat seperti merasakan
tangan terbakar. Adapun ideas adalah gambaran tentang pengamatan yang
hidup, samar-samar yang dihasikan dengan merenungkan kembali atau
ter-refleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.
Perbedaan
kedua-keduanya terletak pada tingkat kekuatan dan garisnya menuju jiwa dan
jalan masuk kesadaran. Persepsi yang termasuk denagn kekuatan besar dan kasar
disebut impression (kesan) dan semua sensasim nafsu emosi termasuk
kategori ini begitu mereka masuk kedalam jiwa. Idea adalah gambaran kabur (faint
image) tentang persepsi yang masuk kedalam pemikiran.
Pengalaman
lebih memberi keyakinan dibandingkan kesimpulan logika atau kemestian sebab
akibat. Hukum sebab akibat tidak lain hanya hubungan saling berurutan saja dan
secara konstan terjadi seperti api membuat air mendidih. Dalam api tidak bisa
diamati adanya "daya aktif" yang mendidihkan air. Daya aktif yang
disebut hukum kausalitas itu tidak bisa diamati. Dengan demikian kausalitas
tidak bisa digunakan untuk menetapkan peristiwa-peristiwa yang akan datang
berdasarkan peristiwa-peristiwa terdahulu.
Pemikirannya
tentang eksistensi Tuhan adalah ketika kita percaya kepada Tuhan sebagai
pengatur alam ini kita berhadapan dengan dilema, kita berpikir tentang Tuhan
menurut pengalaman masing-masing sedangkan itu hanya setumpuk persepsi dan
koleksi emosi saja. Kemudian, bagaimana kita dapat mengatakan Tuhan itu Maha
sempurna dan Maha Kuasa, sedangkan di alam terjadi kejahatan dan berbagai
bencana. Seharusnya alam ini juga sempurna sesuai denga penciptanya tetapi ternyata
tidak. Tuhan juga sumber kejahatan, terbatas dan memiliki sifat mencintai dan
membenci. Penelitiannya tentang dunia tidak mampu membuktikan Tuhan kecuali
Tuhan itu tidak sempurna.
Lebih lanjut
Hume berkomentar, tidak ada bukti yang dapat dipahami untuk membuktikan bahwa
Allah ada dan bahwa Ia menyelenggarakan dunia. Juga tidak ada bukti bahwa jiwa
tidak dapat mati. Dalam praktik, orang-orang yang beragama selalu mengikuti
kepercayaan yang dianggap pasti sedang akal tidak dapat membuktikannya.
Menurutnya banyak sekali keyakinan agama yang merupakan hasil khayalan, tidak
berlaku umum dan tidak berguna bagi hidup. Agama berasal dari penghargaan dan
ketakutan manusia terhadap tujuan hidupnya. Itulah yang menyebabkan manusia
mengangkat berbagai dewa untuk disembah.
C. Positivismee
1.
Pengertian
Positivismee
Positivisme
berasal dari kata positif. Kata positif disini sama artinya dengan faktual,
yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta.
secara istilah, positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta
yang positif positif yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam
pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Positivisme
diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang tertuang dalam karya utama
Auguste Comte adalah Cours de philosophic positive, yaitu kursus tentang
filsafat positif (1830-1842) yang dirbitkan dalam enam jilid. Selain itu dia
juga mempunyai sebuah karya yaitu Discour L’esprit Positive (1844) yang artinya
pembicaraan tentang jiwa positif.
Menurut
positivisme, pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian
ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan.
Kemudian, filsafat pun harus meneladani contoh itu. Oleh karena itulah,
positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan “Hakekat”
benda-benda atau “penyebab yang sebenarnya”, bagi positivisme tidaklah
mempunyai arti apa-apa. Ilmu pengetahuan hanya menyelidiki fakta-fakta dan
hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Tugas khusus filsafat ialah
mengoordinasikan ilmu-ilmu yang beragam coraknya. Tentu saja, maksud
positivisme berkaitan erat dengan yang dicita-citakan oleh empirisme.
Positivisme pun mengutamakan pengalaman, hanya saja berbeda dengan empirisme
inggris yang menerima pengalamam batiniah, dan subjektif sebagai sumber
pengetahuan. Positivisme tidak menerima pengalaman batiniah tersebut. Ia
hanyalah mengandalkan fakta-fakta belaka.
2.
Latar
Belakang Kemunculan Positivismee
Kemunculan
positivisme berkaitan dengan revolusi industry di Inggris abad ke-18 yang
menimbulkan gelombang optimism akan kemajuan umat manusia didasarkan
keberhasilan teknologi industri. Positivismee yakin bahwa masyarakat akan
mengalami kemajuan apabila mengadopsi total pendekatan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Slogan dari aliran positivismee ini adalah “ savoir pour prevoir,
prevoir pour pouvoir, artinya dari ilmu muncul prediksi dan dari prediksi
muncul aksi”.
Positivismee
mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisnya, yang
terukur. Terukur inilah sumbangan penting positivisme.
Tokoh-tokoh
yang paling berpengaruh dalam mengembangkan tradisi positivismee adalah Thomas
Kuhn, Paul K. Fyerabend, W.V.O. Quine, and filosof lainnya. Pikiran-pikiran
para tokoh ini membuka jalan bagi penggunaan berbagai metodologi dalam
membangun pengetahuan dari mulai studi etnografi sampai penggunaan analisa
statistik.
Positivismee
dibidani oleh dua pemikir perancis, Henry Saint Simon ( 1760 -1825 ) dan
muridnya Auguste comte ( 1798 – 1857 ). Walau Henry lah yang pertama kali
menggunakan istilah positivismee, namun Comte yang mempopulerkan positivismee
yang pada akhirnya berkembeng menjadi aliran filsafat ilmu yang pervasive
mendominasi wacana filsafat ilmu abad ke-20.
3.
Tokoh-tokoh
Positivisme dan Corak Pemikirannya
a)
Auguste
Comte
Bernama
lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, lahir di Montepellier,
perancis, tahun 1798. Keluarganya beragama katolik yang berdarah bangsawan.
Meski demikian, Auguste Comte tidak terlalu peduli dengan kebangsawanannya. Dia
mendapat pendidikan di Ecole Polytechnique di paris dan lama hidup disana.
Dikalangan teman-temannya Auguste Comte adalah mahasiswa yang keras kepala dan
suka memberontak, yang meninggalkan ecole sesudah seorang mahasiswa yang
memberontak dalam mendukung napoleon dipecat.
Auguste
Comte memulai karir profesionalnya degan memberi les dalam bidang matematika.
Walaupun demikian, perhatian yang sebenarnya adalah pada masalah-masalah
kemanusiaan dan sosial.
Auguste Comte
juga memiliki pemikiran Altruisme. Altruisme merupakan ajaran comte sebagai
kelanjutan dari ajarannya tentang tiga zaman. Altruisme diartikan sebagai
“menyerahkan diri kepada keseluruhan masyarakat”. Bahkan, bukan “salah satu
masyarakat”, melainkan I’humanite “suku bangsa manusia” pada umumnya. Jadi,
Altruisme bukan sekedar lawan “egoisme”.
Keteraturan
masyarakat yang dicari dalam positivisme hanya dapat dicapai kalau semua orang
dapat menerima altruisme sebagai prinsip dalam tindakan mereka. Sehubungan
dengan altruisme ini, comte menganggap bangsa manusia menjadi semacam pengganti
Tuhan. Kailahan baru dan positivisme ini disebut Le Grand Eire “Maha Makhluk”.
Dalam hal ini comte mengusulkan untuk mengorganisasikan semacam kebaktian untuk
If Grand Eire itu lengkap dengan imam-imam, santo-santo, pesta-pesta liturgi,
dan lain-lain. Ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai “Suatu agama Katholik
tanpa agama masehi”. Dogma satu-satunya agama ini adalah cinta kasih sebagai
prinsip, tata tertib sebagai dasar, kemajuan sebagai tujuan.
Perlu
diketahui bahwa ketiga tahap atau zaman tersebut diatas menurut Comte tidak
hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga
berlaku bagi peroranga. Misalnya sebagai kanak-kanak seorang teolog, sebagai pemuda
menjadi metafisis dan sebagai orang dewasa ia adalah seorang positivis.
b)
John Stuart Mill ( 1806 – 1873 )
Ia adalah seorang filosof Inggris yang menggunakan sistem positivisme pada
ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan. John Stuart Mill memberikan landasan
psikologis terhadap filsafat positivisme. Karena psikologi merupakan
pengetahuan dasar bagi filsafat. Seperti halnya dengan kaum positif, Mill
mengakui bahwa satu-satunya yang menjadi sumber pengetahuan ialah pengalaman.
Karena itu induksi merupakan metode yang paling dipercaya dalam ilmu
pengetahuan.
c)
H. Taine ( 1828 – 1893 )
Ia mendasarkan diri pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik, dan
kesastraan.
D.
Kesimpulan
Aliran
Emperisme adalah salah satu aliran dalam filosof yang menekankan peranan
pengalaman dalam memeroleh pengetahuan, dan mengecilkan akal. Aliran emperisme
berpendapat bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti, dan benar hanya diperoleh
lewan indera (empiri) dan empirilah satu-satutnya sumber pengetahuan aliran
Emperis, bahwa pada dasarnya budi dan empiri saling berkaitan.
Peletak
dasar empiris pertama adalah Francis bacon, bapak empirisnya Jhon Locke dan
beberapa filsuf lainya seperti Thomas Hobbes, Berkeley, David Hume dan
lainnya.Meskipun aliran empirisme sangat berpengaruh atas pemikiran-pemikiran
filsafat selanjutnya namun banyak dijumpai kelemahan baik metode, obyek tentang
empiris.
Empirisme
menganggap agama, mukjizat, bahkan Tuhan sebagai keyakinan yang tidak logis dan
tidak bisa dibuktikan secara ilmiah hanya karena empirisme tidak mampu
membuktikan eksistensi immateri.
Sebagai
salah satu aliran dalam filsafat, positivisme menekankan pengambilan kebenaran
pada ilmu pengetahuan dan mengabaikan metafisika yang tidak dapat ditembus oleh
akal. Sejarah lahirnya positivisme karena ada kelemahan dalam bidang ekonomi,
sehingga hal ini menimbulkan semangat untuk berkembang sehingga yang ada dalam
pikirannya adalah bagaimana mengembangkan ekonomi kembali yang semuanya itu
mereka pikirkan hanya dapat terwujud hanya dengan ilmu –ilmu pengetahuan. Tokoh
yang terkenal pada aliran ini adalah Auguste Comte.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Hakim, Atang dan
Saibani, Beni Ahmad. 2008. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Adian, Donny Gahral.
2002. Menyoal Objektivisme Ilmu
pengetahuan. Jakarta: Teraju.
Bakhtiar, Amsal. 1999. Filsafat Agama. Jakarta: logos Wacana
Ilmu.
Bertens, K. 1975. Ringkasan
Sejarah Filsafat. Jogjakarta: Kanisius.
Ihsan, Fuad. 2010. Filsafat
Ilmu. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Muhmidayeli.
2011. Filsafat Pendidikan. Bandung:
Refika Aditama.
Muslih, Mohammad. 2004.Filsafat
Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma Dan kerangka Teori Ilmu Pengetahuan.
Yogyakarta: Belukar.
Sudarsono. 2008. Ilmu Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.
Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat
Ilmu. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Waris. 2009. Filsafat
Umum. Ponorogo: Stain Po Press.
[1] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Jogjakarta:
Kanisius, 1975), hlm. 50
[2] Sudarsono, Ilmu Filsafat, (Jakarta: Rineka Cipta,
2008), hlm. 316-317
[3] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: logos Wacana
Ilmu, 1999), hlm. 108
[4] Mohammad Muslih, Filsafat
Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma Dan kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta: Belukar, 2004), hlm. 54
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Nurhakim, Empirisme, http://paisnews.blogspot.com, di akses tanggal 09
Oktober 2014 pukul 22:56 Wib
[8] Atang Abdul Hakim dan
Beni Ahmad Saibani, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm.
296
[9] Fuad Ihsan, Filsafat
Ilmu (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), 182
[10] Ahmad Tafsir, Filsafat
Ilmu. (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2004), hlm 32
[11] Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu pengetahuan, (
Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 64
[12] Atang Abdul Hakim dan
Beni Ahmad Saibani, Op.Cit. hlm. 317
[13] Waris, Filsafat Umum,
(Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009), hlm. 55
[14]Andi
Ramadhana, Positivisme, http://dhanalana11.blogspot.com/2013/06/
positivisme.html di akses pada tanggal 04 Oktober 2014
pukul 20:50 Wib
[15] Ibid
0 komentar:
Posting Komentar