29 November, 2015

IDEOLOGI PENDIDIKAN ISLAM


BAB I IDEOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
    A. PARADIGMA IDEOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
Buku ini sengaja mengangkat judul buku Ideologi Pendidikan Islam didasarkan atas empat alasan, yaitu: pertama, istilah terkait dengan istilah “ideology” pada dasarnya. digunakan dengan merujuk pengertiannya yang luas yaitu konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. 
DOWNLOAD VERSI MICROSOFT WORD : KLIK DI SINI

http://mariberbagi-ilmu2.blogspot.co.id/


Implikasi penggunaan ideologi dalam pendidikan adalah keharusan adanya konsep cita-cita dan nilai-nilai yang secara eksplisit dirumuskan, dipercayai dan diperjuangkan; kedua, filsafat dan teori pendidikan lebih kental dengan muatan akademisnya sedangkan ideologi agak kurang tuntutan akademisnya, akan tetapi lebih diarah kepada aksi; ketiga, didalam benturan peradaban sebagai dampak globalisasi, terjadi pergumulan ideologi dunia. Sementara Islam yang sarat dengan nilai-nilai universal dan transedental seharusnya dapat ditawarkan sebagai paradigma ideologi alternatif. Terlebih lagi, pendidikan sebagai wahana sangat strategis dalam membangun peradaban alternatif perlu diformulasikan dengan pendekatan ideologis sehingga memiliki daya pengikat dan penggerak untuk aksi. Keempat, di tengah-tengah munculnya semangat Islam progresif saat ini yang berorientasi pada Islam liberal dan humanis perlu ada acuan yang bertolak dari nila-nilai dasar Islam yang sejatinya sangat humanis, sehingga semangat progresivisme dan liberalisme tidak kehilangan akar akidahnya.
Pada prinsipnya, yang dijadikan paradigma ideologi adalah prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat universal, yaitu Humanisme-Teosentris. Implementasi ajaran ini dalam praktik kehidupan dan pendidikan dapat fleksibel atau luwes, selama substansinya tetap terpelihara, yaitu: menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana hakikat ajaran Islam, sebagai agama fitrah, memang ditujukan untuk kebutuhan manusia itu sendiri.
      B. GAMBARAN SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Format ideologi yang diatas, yang menggunakan paradigma humanisme teosentris dalam buku ini dibahas pada bab I, diperjelas dengan mengemukakan makna dan fungsi pendidikan Islam itu sendiri.
Pada bab II, mengenai fitrah dan implikasinya dalam pendidikan sehingga kandungan makna humanisme teosentris tampak semakin utuh dalam konsep fitrah tersebut.
Bab III memuat inti pembahasan yang bersifat ideologis, yakni mengenai dasar dan tujuan pendidikan Islam.
Selanjutnya, pada bab IV membahas isi pendidikan Islam, yang dalam konteks ideologi dapat dianalogkan sebagai jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan.
Pada bab terakhir, membahas transformasi pendidikan Islam, yang membuktikan bahwa ideologi pendidikan Islam bukanlah sesuatu yang kaku dan eksklusif. Sebaliknya, paradigma yang humanisme teosentris yang dikandungnya, operasional dan praksis pendidikan Islam menjadi iklusif, terbuka menerima pembaharuan yang dinamis.
FITRAH MANUSIA DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN
A. PENGERTIAN FITRAH
Fitrah berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan ansyaa yang artinya mencipta. Biasanya kata fathara, khalaqa dan ansyaa digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan pengertian mencipta sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar (blue print) yang perlu penyempurnaan.
B. FITRAH MANUSIA
Konsep fitrah manusia yang mengandung pengertian pola dasar kejadian manusia dapat dijelaskan dengan meninjau: (1) Hakekat wujud manusia, (2) Tujuan penciptaannya, (3) Sumber Daya Insani (SDM), (4) Citra manusia dalam islam.
Dari hakekat wujudnya sebagai makhluk individu dan sosial dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan islam keberadaan pribadi seseorang adalah:
1. Pribadi yang aktivistik karena tanpa aktivitas dalam masyarakat berarti adanya sama dengan tidak ada (wujuduhu ka ‘adamihi), artinya hanya dengan aktivitas, manusia baru diketahui bagaimana pribadinya.
2. Pribadi yang bertanggung jawab secara luas, baik terhadap dirinya, terhadap lingkungannya, maupun terhadap tuhan.
3. Dengan kesimpulan di atas mengeinplisitkan adanya pandangan rekonstruksionisme (rekonstruksi sosial) dalam pendidikan islam melalui individualisasi dan sosialisasi.
1. Tujuan Penciptaan
a. Tujuan utama penciptaan manusia ialah agar manusia beribadah kepada Allah. (Q.S. Az-Zahriyah: 56).
b. Manusia dicipta untuk diperankan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. (Q.S. Al-Baqarah: 30, Yunus 14, Al-An’am: 165).
c. Manusia dicipta untuk membentuk masyarakat manusia yang saling kenal-mengenal, hormat menghormati dan tolong-menolong antara satu dengan yang lain (Q.S. Al-Hujurat: 13), tujuan penciptaan yang ketiga ini menegaskan perlunya tanggung jawab bersama dalam menciptakan tatanan kehidupan dunia yang damai.
2. Sumber Daya Manusia
Esensi SDM yang membedakan dengan potensi-potensi yang diberikan kepada makhluk lainnya dan memang sangat tinggi nilainya ialah “kebebasan” dan “hidayah Allah”, yang sesungguhnya inheren dalam fitrah manusia.
3. Citra manusia dalam Islam.
Berdasarkan uraian tentang fitrah manusia ditinjau dari hakekat wujudnya, tujuan penciptaannya dan sumber daya insaninya, tergambar secara jelas bagaimana citra manusia menurut pandangan islam:
a. Islam berwawasan optimistik tentang manusia dan sama menolak sama sekali anggapan pesimistik dari sementara filosof eksistensialis yang menganggap manusia sebagai makhluk yang terdampar dan terlantar dalam hidup dan harus bertanggung jawab sendiri sepenuhnya atas eksistensinya.
b. Perjuangan hidup manusia bukan sekedar trial and error belaka tetapi sudah mempunyai arah dan tujuan hidup yang jelas dan yang telah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Bijaksana. Untuk mencapainya manuia telah diberi pedoman serta kemampuan, yakni akal dan agama.
c. Manusia makhluk yang paling mampu bertanggung jawab karena dikaruniai seperangkat alat untuk dapat bertanggung jawab yaitu kebebasan berpikir berkehendak, dan berbuat.

C. Implikasi Fitrah Manusia Dalam Pendidikan
1. Pemberian stimulus dan pendidikan demokratis
Manusia ditinjau dari segi fisik-biologis mungkin boleh dikatakan sudah selesai, “Physically and biologically is finished”, tetapi dari segi rohani, spiritual dan moral memang belum selesai, “morally is unfinished”.
Manusia tidak dapat dipandang sebagai makhluk yang reaktif, melainkan responsif, sehingga ia menjadi makhluk yang responsible (bertanggung jawab). Oleh karena itu pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan yang memberikan stimulus dan dilaksanakan secara demokratis.
2. Kebijakan pendidikan perlu pertimbangan empiris.
Dengan bantuan kajian psikologik, implikasi fitrah manusia dalam pendidikan islam dapat disimpulkan bahwa jasa pendidikan dapat diharapkan sejauh menyangkut development dan becoming sesuai dengan citra manusia menurut pandangan islam.
3. Konsep fitrah dan aliran konvergensi
Dari satu sisi, aliran konvergensi dekat dengan konsep fitrah walaupun tidak sama karena perbedaan paradigmanya. Adapun kedekatannya:
Pertama: Islam menegaskan bahwa manusia mempunyai bakat-bakat bawaan atau keturunan, meskipun semua itu merupakan potensi yang mengandung berbagai kemungkinan,
Kedua: Karena masih merupakan potensi maka fitrah itu belum berarti bagi kehidupan manusia sebelum dikembangkan, didayagunakan dan diaktualisasikan.
Namun demikian, dalam Islam, faktor keturunan tidaklah merupakan suatu yang kaku sehingga tidak bisa dipengaruhi. Ia bahkan dapat dilenturkan dalam batas tertentu. Alat untuk melentur dan mengubahnya ialah lingkungan dengan segala anasirnya. Karenanya, lingkungan sekitar ialah aspek pendidikan yang penting. Ini berarti bahwa fitrah tidak berarti kosong atau bersih seperti teori tabula rasa tetapi merupakan pola dasar yang dilengkapi dengan berbagai sumber daya manusia yang potensial

KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN
Dewasa ini, dunia pendidikan mendapat sumbangan pemikiran dari teori konstruktivisme sehingga banyak negara mengadakan perubahan-perubahan secara mendasar terhadap sistem dan praktek pendidikan mereka, bahkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pun tak luput dari pengaruh teori ini. Paul Suparno dalam ”filsafat konstruktivisme dalam pendidikan” mencoba mengunai implikasi filsafat konstruktivisme dalam praktek pendidikan. Berikut ini adalah intisari buku tersebut, sekiranya bisa bermanfaat bagi para pendidik dan orang lain.
Sebelum kita melangkah kepada pembahasan “filsafat kontruktivisme dalam pendidikan” terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu konstruktivisme?. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi(bentukan) kita sendiri.
Menurut Von Glaserfeld, pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyatan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyatan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk penetahuan (Betten court, 1989). Maka pewngetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya sesuatu pemahaman yang baru(Piaget, 1971).
Para konstruktivisme menjelaskan bahwa satu-satunya alat/sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui seseorang adalah indranya. Seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan merasakannya. Dari sentuhan indrawi itu seseorang membangun gambaran dunianya. Misalnya, dengan mengamati air, bermain dengan air, mencicipi air, dan menimbang air, seseorang membangun gambaran pengetahuan tentang air. Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang(guru) ke kepala orang lain(murid). Murid sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka(lorsbach dan tobin,1992).
Tampak bahwa pengetahuan lebih menunjuk pada pengalaman seseorang akan dunia dari pada dunia itu sendiri. Tanpa pengalaman itu, seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan. Pengalaman tidak harus diartikan sebagai pengalaman fisik, tetapi juga dapat diartikan sebagai pengalaman kognitif dan mental.
Berlandaskan teori piaget dan dipengaruhi filsafat sainsnya Toulmin yang mengatakan bahwa bagian terpenting dari pemahamn seseorang adalah perkembangan konsep secara evolutif, dengan terus seseorang berni mengubah ide-idenya. Posner dkk lantas mengembangkan teori belajar yang dikenal dengan teori perubahan konsep, tahap pertama dalam perubahan konsep di sebut asimilasi, yakni siswa menggunakan konsep yang sudah dimilikinya untuk menghadapi fenomena baru. Namun demikian, suatu ketika siswa dihadapkan fenomena baru yang tak bisa dipecahkan dengan pengetahuan lamanya., maka ia harus membuat perubahan konsep secara radikal, inilah yang disebut tahapan akomodasi.
Piaget (1970) membedakan dua aspek berpikir dalam pembentukan pengetahuan ini: (1) aspek figuratif dan(2) aspek operatif. Aspek berpikir figuratif adalah imaginasi keadaan sesaat dan statis. Ini mencakup persepsi, imaginasi dan gambaran mental seseorang terhadap sesuatu objek atau fenomena. Aspek berpikir operatif lebih berkaitan dengan transformasi dari satu level ke level lain. Ini menyangkut operasi intelektual atau sistem tarnsformasi. Setiap level keadaan dapat dimengerti sebagai akibat dari transformasi tertentu atau sebagai titik tolak bagi transformasi lain. Dengan kat lain, aspek yang lebih esential dari berfikir adalah aspek operatif. Berpikir operatif inilah yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuannya dari satu level tertentu ke level yang lebih tinggi.
Mengapa kita perlu mengkonstruksikan pengetahuan? Mengapa kita perlu mengetahui sesuatu? Menurut Shapiro (1994),tujuan mengetahui sesuatu bukanlah untuk menemukan realitas. Tujuannya lebih adaptif, yaitu untuk mengorganisasikan ”pengetahuan” yang cocok dengan tantangan dan pengalaman-pengalaman baru.
Secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dirangkum sebagai berikut :
1) Pengetahuan bukanlah merupakn gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakn konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
2) Subjek membentuk skema kognitif,kategori,konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
3) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsiu membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Adapun realitas dan kebenarannya, pengetahuan kita bukanlah realitas dalam arti umum. Konstruktivisme menyatakan bahwa kita tidak pernah dapat mengertirealitas sesungguhnya secara antologis.yang kita mengerti adalah struktur konstruksi kita akan suatu objek. Menurut bettern court (1989), memang konstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. Boileh juga dikatakan bahwa ”realitas” bagi konstruktivisme tidak pernah ada secaara terpisah dari pengamat. Yang diketahui bukan suatu realitas ”di sana” yang berdiri sendiri, melainkan kenyataan sejauh dipahami oleh orang yang menangkapnya (Shapiro, 1994). Menurut shapiro, ada banyak bentuk kenyataan dan masing-masing tergantung pada kerangka dan interaksi pengamat dengan objek yang diamati. Dalam kerangka pemikiran ini, bila kita bertanya, ”apa yang kita ketahui itu memang sungguh kenyataan yang ada?”, konstruktivis akan menjawab, ”kami tidak tahu, itu bukan urusan kami.”
Lalu, bagaimana halnya degan kebenaran? Bagaimana orang tahu bahwa pengetahuan yang kita konstruksikan itu benar? Beberapa paham ilmu pengetahuan mengatakan bahwa pengetahuan itu dianggap benar bila pengetahuan itu sesuai dengan kenyataanya. Misalnya, pengetahuan seseorang bahwa ”angsa itu putih” adalah benar bila dalam kenyataanya memang angsa itu putih dan tidak berwarna lain. Dengan kata lain,orang membuktikan pengetahuaanya dengan membandingkannya dengan realitas ontologisnya.
Adapun hal yang membatasi konstruksi pegetahuan yaitu ada tiga hal (1) konstruksi kita yang lama, (2) domain pengalaman kita, dan (3) jaringan struktur kognitif kita. Hasil dan proses konstruksi pengetahuan kita yang lampau dapat menjadi pembatas konstruksi pengetahuan kita yang mendatang. Unsur-unsur yang kita abstraksikan dari pengalaman yang lampau, cara kita mengabstraksikan dan mengorganisasikan konsep-konsep, aturan main yang kita gunakan untuk mengerti sesuatu , sewmuanya punya pengaruh terhadap pembentukan pengetahuan berikutnya. Misalnya, pengetahuan kita akan hukum newton akan selalu membatasi kita dalam menganalisis suatu gerak.
Pengalaman kita yang terbatas akan sangat membatasi perkembangan pembentukan pengetahuan kita pula. Menurut konstruktivisme, pengalama akan fenomena yang baru akam menjadi unsur yang sangat penting dalam pengembangan pengetahuan kita dan kekurangan dalam hal ini akan membatasi pengetahuan kita pula.
Struktur kognitif merupakan sesuatu sistem yang saling berkaitan. Konsep, gagasan, gambaran, teori, dan sebagainya yang membentuk struktur kognitif saling berhubungan satu dengan yang lain. Inilah yang oleh Toulmin (1972) di sebut ekologi konseptual. Setiap pengetahuan yang baru harus juga cocok degan ekologi konseptual tersebut, karena manusia cenderung untuk menjaga stabilitas ekologin sistem tersebut, kecenderungan ini dapat menghambat pengembangan pengetahuan.
Adapun faktor yang memungkinkan perubahn pengetahuan yaitu, banyaknya situasi yang memaksa atau membantu seseorang untuk mengadakan perubahan dalam pengetahuannya. Perubahan ini, mengembangkan pengetahuan seseorang. Bettencourt (1989) menyebutkan beberapa situasi atau konteks yang memnbantu perubahn,m yaitu (1) konteks tindakan,(2) konteks membuat masuk akal, (3) konteks penjelasan, dan (4) konteks pebenaran (justifikasi)
Bila seseorang harus cepat bertindak atau memecahkan sesuatu secara berencana, ia akan terdorong untuk menganalisis situasi dan persoalan yang dihadapi. Dalam situasi seperti itu ia dapat bertindak secara efisien dan membentuk pengetahuan dan konsep yang baru. Juga bila seseorang berhadapan dengan suatu persoalan atau kejadian baru yang tidak disangka-sangka, ia ditantang untuk mencari arti dan makna hal itu dengan menggunakn gagasan, ide-ide, maupun konsep-konsep yang telah ia punya. Bila konsepnya tidak cocok, lalu ia terpaksa harus mengubah konsepnya. Dalam demikian ia mengembangkan pengetahuan yang baru.
Penutup
Konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Manusia mengkonstruksiu pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomen, pengalaman, dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomen yang sesuai. Bagi konstruktivisme, pengetahuan tideak dapat ditransfer degitu saja dari seseorang kepasa yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Tiap orangf harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Dalam proses itu keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperan dalam perkembangan pengetahuannya.
Beberapa faktor seperti keterbatasan pengalaman konstruksi yang terdahulu, dan struktur kognitif seseorang dapat membatasi pembentukan pengetahuan orang tersebut. Sebaliknya, situasi konflik atau anomali yang membuat orang dipaksa untuk berpikir lebih mendalam serta situasi yang menuntut orang untuk membela diri dan menjelaskan lebih rinci, akan mengembangkan pengetahuan seseorang.
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Kanisius 1997. hlm. 18-19
http://ahmad faqih.blogsport.com/mengenal teori konstuktivisme,html
Ibid…, hlm. 20-21
Pendapat tersebut dikutip oleh (Von Glasersfeld dan Kitchener, 1987)
Ibid…, hlm, 21-22
Pendapat Bettencourt, 1989.
Ibid…, hlm. 23



HAKIKAT DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Pendidikan Islam
Ada tiga istilah yang umum digunakan dalam pendidikan Islam, yaitu al-Tarbiyah (pengetahuan tentang ar-rabb), al-Ta’lim (ilmu teoritik, kreativitas, komitmen tinggi dalam mengembangkan ilmu, serta sikap hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah), al-Ta’dib (integrasi ilmu dan amal). (Hasan Langgulung : 1988).
1. Istilah al-Tarbiyah
Kata Tarbiyah berasal dari kata dasar “rabba” (رَبَّى), yurabbi (يُرَبِّى) menjadi “tarbiyah” yang mengandung arti memelihara, membesarkan dan mendidik. Dalam statusnya sebagai khalifah berarti manusia hidup di alam mendapat kuasa dari Allah untuk mewakili dan sekaligus sebagai pelaksana dari peran dan fungsi Allah di alam. Dengan demikian manusia sebagai bagian dari alam memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang bersama alam lingkungannya. Tetapi sebagai khalifah Allah maka manusia mempunyai tugas untuk memadukan pertumbuhan dan perkembangannya bersama dengan alam. (Zuhairini, 1995:121).
2. Istilah al-Ta’lim
Secara etimologi, ta’lim berkonotasi pembelajaran, yaitu semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Hakekat ilmu pengetahuan bersumber dari Allah SWT. Adapun proses pembelajaran (ta’lim) secara simbolis dinyatakan dalam informasi al-Qur’an ketika penciptaan Adam as oleh Allah SWT, ia menerima pemahaman tentang konsep ilmu pengetahuan langsung dari penciptanya. Proses pembelajaran ini disajikan dengan menggunakan konsep ta’lim yang sekaligus menjelaskan hubungan antara pengetahuan Adam as dengan Tuhannya. (Jalaluddin, 2001:122).
3. Istilah al-Ta’dib
Menurut al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukkan pendidikan Islam adalah al-Ta’dib, konsep ini didasarkan pada hadits Nabi:
اِدَّ بَنِيْ رَبِّى فَأَحْسَنَ تَـأْدِيْبِيْ {رواه العسكرى عن على}
Artinya : “Tuhan telah mendidikku, maka ia sempurnakan pendidikanku”
(HR. al-Askary dari Ali r.a).
Al-Ta’dib berarti pengenalan dan pengetahuan secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya.
Dari bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. (Samsul Nizar, 2002:32).
B. Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam
Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal. Sementara fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan lancar.
Bila dilihat secara operasional, fungsi pendidikan dapat dilihat dari dua bentuk :
1. Alat untuk memperluas, memelihara, dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial serta ide-ide masyarakat dan nasional
2. Alat untuk mengadakan perubahan inovasi dan perkembangan.
C. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
Menetapkan al-Qur’an dan hadits sebagai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dibolehkan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan.
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia. Secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran, diri manusia yang rasional, perasaan dan indra, karena itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik, aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif, dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah SWT, baik secara pribadi kontinuitas, maupun seluruh umat manusia. (Samsul Nizar, 2002:38).

Lokasi:INDONESIA Indonesia

0 komentar:

luvne.com tipscantiknya.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com